Lihatlah Dunia, Wahai Anakku Tercinta
Lihatlah Dunia, Wahai Anakku Tercinta
Al-kisah,
hiduplah seorang ibu dengan seorang anak laki-lakinya. Ibu itu sangat
menyayangi anaknya dan selalu menjaganya baik-baik. Pikiran dan upayanya
dikerahkan demi kebahagiaan anaknya. Karena itulah, ibu tersebut rela membanting
tulang dengan bekerja sebagai buruh cucian demi memenuhi kebutuhan hidup
anaknya. Sering ibu yang hamper tua itu tidak makan karena jatah makannya hanya
cukup untuk anak tercinta.
Meskipun
wanita ini memiliki satu kekurangan fisik, yaitu satu matanya buta, namun ia
tetap semangat dalam bekerja dan mencari nafkah demi kehidupan anaknya. Tahun
demi tahun pun berlalu, dan kini si anak pun telah besar dan mulai masuk
sekolah, Tapi anak itu selalu menolak. Anak itu seperti malu jika
teman-temannya melihat keadaan ibunya yang buta sebelah.
Suatu
hari sang ibu nekat berangkat ke sekolah anaknya. Wanita baik itu ingin melihat
bagaimana anaknya belajar. Sesampainya disekolah, tiba-tiba si anak dating
menghampirinya. Bukan menyambut dengan baik, anak itu justru memarahi ibunya
dan langsung mengajak pulang. Sesampainya dirumah, anak itu membentak ibunya
dan melarang untuk datang kembali kesekolah. Rupanya, ia malu karena mempunyai
ibu bermata satu. Meskipun sang ibu sangat sedih mendengar kata-kata anaknya, tapi
sama sekali tidak timbul dendam da dalam hatinya. Cintanya kepada anaknya
begitu tulus dan tidak bisa dikalahkan oleh perlakuan kasar anaknya.
Tahun
demi tahun pun berlalu, kini si anak telah beranjak menjadi pria dewasa. Ia pun
memutuskan untuk merantau ke kota yang jauh. Bertahun-tahun lamaya anak itu tak
pernah kembali. Dari seorang sanak saudara, si ibu mendapatkan kabar bahwa
anaknyabtelah menjadi orang sukses dan telah berkeluarga di kota di seberang
lautan. Saat itu, kerinduan sang ibu sudah tak tertahankan lagi, ia memutuskan
untuk pergi menyusul anaknya.
Dengan
perbekalan seadanya, berangkatlah sang ibu menemui anaknya. Ribuan kilometer ia
tempuh sendirian demi memuaskan rasa rindunyayang tak tertahankan kepada anak
satu-satunya. Ketika sampai dirumah sang anak, si ibu kembali menghadapi
kenyataan pahit. Bukannya sapaan dan sambuta hangat dari sang anak, tetapi
justru dicaci maki dan diusir.
“Mengapa
engkau datang kesini? Pergilah! Aku tak sudi mempunyai ibu bermata satu. Kau
membuat anak-anakku takut,” bentak anaknya.
Sang
ibu tentu sangat sakit mendengar kata-kata kasar tersebut keluar dari mulut
anaknya sendiri. Bagaimana tidak, segala pengorbanan yang telah ia lakukan demi
membahagiakan anak satu kesayangannya ternyata dibalas dengan cacian dan
makian. Sambil menangis, wanita tua itu melangkah pergi dari rumah anaknya yang
pintunya kini tertutup rapat itu. Ia harus rela hanya bisa melihat pagar rumah
milik anak dan cucunya itu.
Bertahun-tahun
kemudian, sang ibu mengalami sakit yang sangat parah. Sebelum menutup mata
untuk yang terakhir kalinya, ia ingin sekali bertemu denga anaknya.
Berkali-kali wanita itu mengirimkan surat kepada anaknya, tapi tidak pernah
dibalas. Pernah juga ia meminta kerabatnya untuk mengunjungi anaknya agar mau
menjenguknya. Tetapi, anaknya selalu menolak dengan alasan masih sibuk dengan
pekerjaan.
Sebenarnya,
istri anak laki-laki itu juga pernah bertanya kepada suaminya. “Mengapa engkau
tidak mau menjenguk ibumu?” Tapi, pertanyaan itu dijawab dengan nada ketus.
“Aku tidak mempunyai waktu untuk itu. Aku sibuk!” Tetapi, si istri tidak mau
menyerah. Sebagai seorang wanita, ia merasakan betul naluri seorang ibu
terhadap anaknya. Akhirnya, karena dengan desakan istrinya, si anak laki-laki
itupun mau menjenguk ibunya.
Berangkatlah
si anak ke kampong halamannya. Tapi, ia sudah terlambat. Sang ibu telah
meninggal. Hanya secarik kertas yang ia temukan di lemari dimana ibunya biasa
menyimpan uang. Surat itu ternyata berisi wasiat terakhir ibunya.
“Wahai anakku, aku sungguh bahagia melihatmu
bertumbuh dari kecil hingga dewasa, sampai akhirnya kamu menikah dan bisa
sukses. Ketahuilah, wahai anakku, bahwa ketika engkau lahir, engkau hanya bisa
melihat dengan satu mata. Aku telah relakan satu mataku untukmua agar engkau
bahagia nantinya.”
Betapa
kagetnya anak itu. Ternyata, satu matanya adalah pemberian dari ibunya yang
dengan ikhlas berkorban untuk kebahagiaannya. Detik itu juga si anak laki-laki
itu menangis dan tersungkur meraung-raung di lantai. Dalam hati, ia mengutuki
segala kejahatan dan keburukan yang telah ia lakukan kepada ibunya sendiri. Ia
benar-benar telah menjadi anak yang durhaka karena tidak mengakui segala
pengorbanan yang telah dilakukan ibunya.
***
Masihkan
kita merasa malu denga kekurangan dari orang tua, terutama ibu kita? Sungguh,
sangat durhaka anak yang mencampakkan ibunya sendiri. Ibu yang telah merawat
dan membesarkan kita dengan segenap pengorbanan. Ingatlah ungkapapn yang
mengatakan bahwa surga berada di bawah telapak kaki ibu. Pepatah itu memang benar
adanya.
Semoga bisa memberikan manfaat bagi
kita semua.